Sudah 1 bulan ini aku tidak pulang ke rumah. Mungkin lebih tepatnya, 1 bulan lebih 1 pekan. Hal ini aku lakukan karena 2 minggu yang lalu aku sudah bertemu dengan Umi (ibu) di Hotel Pandanaran karena sedang melakukan diklat di sana. Aku memang jarang balik ke rumahku yang ada di Solo. Aku lebih sering menghabiskan waktu libur akhir pekan kuliahku di kos yang ada di Semarang. Dengan berpegang pada kata-kata Abah (bapak), akan lebih baik jika aku jarang pulang agar bisa merasakan betapa pentingnya memiliki rasa sayang dan rindu pada kampung halaman.
Namun kali ini aku harus pulang karena kakakku sakit. Aku jadi berpikir tentang wirausaha yang ada di rumah yang dipegang oleh kakak. Hal inilah yang mendorongku untuk pulang ke rumah secepatnya dan juga untuk menjaga kakak.
Setelah prepare untuk persiapan balik ke Solo, aku segera turun untuk memanasi mesin motorku. Kulihat motorku sangat kotor. Lumpur kering yang ada di knalpot benar-benar tidak nyaman untuk dipandang. Begitu juga debu yang sedikit kering di body motor bagian samping dan depan. Mungkin ketika nanti sampai di rumah, aku pasti akan dimarahi sama Abah, keluhku.
Aku duduk di kursi sofa hijau yang sudah tidak bagus lagi, namun masih nyaman jika untuk bersantai. Kupakai sepatuku yang sudah ada sobekan kecil di bagian depan. Kembali aku cek barang bawaanku yang berupa celana jeans kotor, jaket serta handuk yang harus dicuci. Mungkin hal ini terlalu menjijikkan karena membawa semua ini ketika pulang kampung. Tapi yaa mau bagaimana lagi. Aku tidak sempat untuk membersihkan semuanya.
Setelah semua sudah masuk, kulihat layar HP, sudah jam 13.40 WIB. Segera kupakai masker dan sarung tangan kemudian bersiap untuk berangkat. Aku cek terlebih dahulu ban motorku serta bensin yang ada. Harus beli bensin dan isi angin dulu ini, gumamku. Setelah berdo’a, segera kujalankan motorku ke POM Bensin terlebih dahulu untuk isi bensin dan isi angin. Setelah mengisi bensin, kembali aku berdo’a untuk keselamatan selama perjalanan yang biasanya akan memakan waktu selama 2 jam dengan kecematan normal dan jalan tidak terlalu ramai.
Ketika dalam perjalanan, seperti biasa agar tidak mengantuk aku sibukkan diriku dengan bernyanyi. Kebiasaan yang tidak bisa aku rubah sejak dulu, menyanyi, dan tentu saja menyanyikan lagu lagu anime. Tapi tak selama perjalanan aku hanya bernyayi. Kadang juga sambil berdzikir, ngomong sendiri karena ada pengendara lain yang tidak mentaati tata tertib lalu lintas serta menikmati angin dan pemandangan selama perjalanan.
Membahas tentang pengendara yang tidak mentaati tata tertib, aku sempat dibuat naik darah gara-gara ada pengendara yang tidak konsisten dengan jalurnya. Kalau tidak salah pas masih berada di sekitar Bawen. Ada seorang pengendara motor dengan kendaraan Vixion biru yang saat itu berkendara dengan kecepatan yang yang sangat pelan. Kenapa berjalan pelan bisa membuat aku naik darah ? karena dia berada di tengah-tengah lajur. Dan hal ini membuat beberapa pengendara yang berada di belakangnya, termasuk aku, susah untuk memacu kecepatan karena susah untuk mendahuluinya dikarenakan lajur dari arah yang berlawanan sangat ramai.
Setelah itu, ada lagi sopir bus yang membuatku jengkel juga. Hal ini terjadi di sekitar perbatasan Sukoharjo-Kartasura. Jalanan yang ramai dari lajur yang berlawanan arah, membuatku sedikit berpikir, kenapa bisa sampai macet, padahal dari arahku sama sekali tidak macet. Setelah beberapa ratus meter aku lewati keramaian dari lajur yang berlawanan arah, tiba-tiba di depanku ada bus gila yang melewati batas lajurnya dan hal ini benar-benar membuat macet keadaan. Bus yang berniat untuk melewati keramaian dengan cara berjalan di lajur yang berlawanan arah ini, sukses membuatku marah dan mencaci-makinya (dalam hati sih :p).
Setelah mengalami perjalanan yang menyenangkan dan dibumbui dengan hal-hal yang sedikit membuat emosi, akhirnya sampai juga di daerah desaku. Walaupun ketika di Semarang aku tidak pernah punya rasa untuk pulang, tetapi entah kenapa setiap sudah memasuki daerah ini, yakni daerah yang sejak kecil merupakan tempatku bermain bersama adikku tercinta dan tersayang, aku selalu saja meneteskan air mata. Bolehlah kalau dikata saya terlalu sensitif dengan hal-hal seperti ini. Karena masa kecilku merupakan masa dimana hingga saat ini, semua itu sangat berharga.
Setelah sekitar 1 menit, akhirnya terlihat juga rumahku. Dengan sedikit pelan, aku lewati bagian samping rumahku yang memang berada di samping jalan. Kemudian, aku dikejutkan dengan hal yang sangat aneh. Ada bangunan baru di halaman rumahku. Betapa kagetnya aku akan hal ini. Bangunan ini dibangun ditempat yang seharusnya tumbuh pohon mangga yang memiliki banyak kenangan ketika aku masih kecil.
Setelah memasuki halaman rumah, kupandangi bangunan yang entah mau jadi apa. Rasa lelah setelah perjalanan selama 2 jam, seakan sirna karena melihat adanya bangunan baru yang menyebabkan pohon mangga yang penuh kenangan ini ditebang. Beberapa pekerja masih terlihat sibuk walaupun sudah menunjukkan pukul 4 sore. Lama kupandangi, seakan bangunan yang sedang dibangun ini lama-lama menghilang dari pandanganku dan muncul pohon mangga yang dulu ada di sini.
Aku tersenyum, tetapi entah kenapa aku menetes air mata. Terlihat di hadapanku, pohon mangga yang dulu masih belum tua. Yang dulu masih merupakan usia pohon mangga yang masih sangat produktif. Terlhat pula dalam imajinasiku, kakakku ketika kecil bersama dengan teman-teman sebayanya yang membuat base camp di pohon ini. Mereka sedang asik memaku papan pada dahan yang kokoh. Kemudian, dalam sekejap semua telah selesai. Kini terlihat dalam imajinasiku, ketika aku berusaha untuk belajar memanjat pohon. Dimana terlihat, aku dengan susah payah memanjat untk mencapai pijakan yang pertama dan gagal. Aku terjatuh. Menangis.
Kemudian, ingatan ini hilang dan dalam imajinasiku muncul ingatan yang lain. Yakni ketika dulu masih ada pohon nangka di sini. Ketika dulu memanen madu. Sungguh hal yang sangat menyenangkan. Rumah lebah dengan ukuran yang sangat besar, masih terlihat jelas di hadapanku. Ketika diperas dan menghasilkan madu 1 ember besar dan 1 ember kecil. Aku yang saat itu takut dengan lebah, hanya bisa bersembunyi di bawah pohon mangga ini dan kakakku yang menggodaku dengan berpura-pura melemparkan lebah yang sebenarnya tidak ada.
Setelah ini, muncul lagi ingatan yang lain yang muncul dalam imajinasiku. Ketika melakukan renovasi rumah. Di hadapanku, kulihat ketika disini dulu ada pasir yang sangat tinggi hingga menyentuh bagian pijakan pohon yang kedua. Aku yang saat itu sudah bisa sedikit memanjat pohon, bermain bersama Dicky yang merupakan adik serta temanku satu-satunya saat itu. Ketika kita memanjat, kemudian melompat ke gundukan pasir, hingga badan kotor dan penuh dengan pasir.
Semua ingatan tentang pohon ini, tiba-tiba muncul di hadapanku. Ketika memanen mangga bersama Umi, ketika bermain petak umpet, ketika aku belajar melatih keberanian untuk berjalan di atas genting lewat pohon ini, dan ketika aku belajar untuk memahami pesan yang dibawa oleh angin. Semua muncul di hadapanku. Semua seakan secara bersama-sama ingin mengingatkan padaku kembali bahwa aku pernah berada di sini dan pohon ini telah memberikan aku banyak pengalaman.
“Fiq, ada apa ? Kok diam saja ?”, tiba tiba aku dikagetkan oleh suara yang datang dari belakang.
“Ah Abah, nggak apa kok. Cuma penasaran aja, ni mau dijadiin apa ?”, jawabku dengan suara sedikit terisak sambil bersalaman karena baru saja sampai dari Semarang.
“Kamu nangis lagi karena pohon ya?”, kata Abahku karena melihatku mengusap mata dan sedikti terisak.
“Nggak kok. Ini mau jadi apa si ?”, jawabku sambil berusaha tersenyum.
“Garasi mobil”, jawab Abahku singkat.
Aku terdiam. Garasi mobil dan ini mengharuskan untuk menebang sebuah pohon. Kulihat wajah Abahku dalam-dalam. Kemudian aku berlalu setalah mengucap salam. Langsung kubuang tasku di atas lantai. Kulepas sarung tanganku dan kemudian kulempar ke meja belajar. Slayer yang sedari tadi aku genggam, kubiarkan terjatuh di lantai kamar. Aku langsung menuju kamar mandi untuk mandi.
Setelah selesai mandi, aku hanya menangis. Hal yang dari dulu tidak kuat untuk aku tahan adalah, ketika ada pohon yang ditebang. Betapa hal ini sangat berat aku terima. Apalagi pada pohon yang telah memberikan berbagai makna yang tak bisa aku jelaskan dengan kata-kata. Mungkin bagi sebagian orang, pohon itu hanya diam. Tapi bagiku, pohon itu telah bicara padaku. Banyak yang telah ia sampaikan padaku. Meskipun hal ini seakan terasa bodoh, namun bagiku ini nyata. Pohon-pohon yang dulu berada di sekitar rumahku sering memberikan penjelasan tentang angin yang sedang berhembus, berusaha menyejukkan suasana yang ada di sekitar rumahku yang panas, kemudian memberitahuku tentang kehidupan burung-burung yang membuat sarang di dahannya. Mereka hidup dan memang adalah sebuah kenyataan bahwa tumbuhan itu adalah makhluk hidup.
Malam harinya, sekitar jam 10 malam, aku keluar dari rumah hanya untuk melihat sebuah bintang seperti kebiasaan yang sering aku lakukan dulu. Ketika sampai di halaman rumah, langit lumayan bersih dari awan. Keadaan yang sangat pas untuk melihat bintang, pikirku. Namun, begitu aku fokus pada bintang yang ada, cahay bintang kalah oleh cahaya bulan yang masih memasuki tahap separo ini. Aku sedikit kecewa dengan hal ini. Tapi ya sudahlah, mau gimana lagi.
Kemudian aku duduk di serambi masjid yang memang berada di halaman rumahku. Kupandangi bulan yang sangat terang karena memantulkan cahaya matahari ini. Dalam hati, aku merasa ada yang aneh. Ada yang kurang. Bukan karena pohon mangga yang ditebang. Hal ini tidak mungkin karena di bekas tebangan pohon mangga, sedang di bangun bangunan baru. Ada sesuatu yang lain. Yang membuat suasana seakan berbeda. Begitu aku mengamati halaman dengan seksama, ternyata memang benar. Pohon mlinjo yang dulu aku tanam bersama Umi sekitar 15 tahun yang lalu, kini sudah tidak ada. Kembali aku meneteskan air mata. Teringat semua kenangan tentang pohon ini.
Dalam malam yang sepi ini, aku hanya terdiam di teras masjid. Membiarkan angin malam terus menghempas tubuhku yang seakan tidak merasa kedinginan. Menatap kosong ke langit berusaha menunggu kehadiran bintang yang berusaha untuk mengimbangi cahaya bulan. Semua kenangan bersama pohon ini pasti akan hilang dari ingatanku. Memori-memori yang seakan menjadi sebuah harta karunku yang sangat berguna. Mungkin bisa dibilang kalau masa kecilku memang tidak seberuntung orang-orang yang lain. Namun, ada beberapa hal yang memang sangat berharga bagiku.
Aku sangat bangga, karena dulu sempat berbincang dengan pohon-pohon ini. Wahai pohon, dengan daun-daunmu kau berikan kesejukan di rumahku. Dengan dahanmu kau berikan tempat hidup bagi para burung untuk membuat sarang yang aman dari cuaca, dengan akarmu kau berusaha menyimpan air yang kau gunakan untuk bertahan hidup serta kau bagi kepada makhluk lain. Semua kenangan itu sangat tidak ingin aku lupakan. Tetapi, sisi burukku pasti akan menghapus memori yang ada. Maafkan aku jika aku melupakanmu, melupakan masa-masa di mana kamu masih berdiri kokoh, dimana ketika kamu tumbuh dan kami merawatmu dengan sangat hati-hati.
Terima kasih untuk semuanya. Aku menulis ini agar aku masih bisa menyimpan kenangan yang ada. Karena aku tak mau lagi kehilangan ingatan yang sangat berharga, seperti kenangan yang saat ini masih samar untuk bisa kuingat tentang pohon kapas yang ada di sebelah kamarku dulu yang sudah bernasib sama dan mendahuluimu untuk ditebang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar